MENINGKATKAN PERAN MEDIA TRADISIONAL
MENINGKATKAN
PERAN MEDIA TRADISIONAL
Harus disadari, 80% penduduk Indonesia tinggal di perdesaan dan hanya 20%
yang tinggal di kota. Sayangnya, konsumsi media modern justru menunjukkan angka
sebaliknya, 80% dikonsumsi oleh orang kota dan 20% sisanya oleh masyarakat
desa. Ketidakimbangan mass media exposure di wilayah perdesaan ini tentu
harus diimbangi dengan ketersediaan media komunikasi lain yang dapat dengan
tepat menyentuh hajat komunikasi orang desa. Dan tidak bisa tidak, dalam
kondisi seperti ini, penggunaan media tradisional adalah sebuah keniscayaan.
Media massa modern memang sering dinilai lebih “unggul”, karena lebih cepat
dan memiliki kemampuan menaklukkan ruang dan waktu. Akan tetapi media jenis ini
tidak bisa diterapkan secara efektif di kalangan masyarakat perdesaan karena
adanya kendala aksesibilitas. Media cetak seperti koran dan majalah misalnya,
terkendala kemampuan masyarakat untuk berlangganan. Media elektronik radio dan
televisi, belum menjangkau seluruh wilayah perdesaan di Indonesia—selain
memiliki sifat bawaan “selintas dengar/lihat” sehingga isinya mudah dilupakan
publik. Sementara media baru yakni media online-interaktif, menghadapi kendala
konektivitas karena biaya aksesnya relatif mahal dan ketersediaan infrastruktur
pendukung belum berpihak pada kebutuhan masyarakat perdesaan.
Oleh karena itu, dalam menyebaran informasi di perdesaan, media modern
harus dipergunakan secara terintegrasi dengan media tradisional. Dengan cara
tersebut, kendala aksesibilitas yang muncul dalam penggunaan media modern dapat
tertutup oleh penggunaan media tradisional. Sebaliknya, sifat media tradisional
yang “lambat” dan “lokal” dapat ditutup oleh media modern yang lebih “cepat”
dan “global”.
Berdasarkan konsep starting from people, penyebaran informasi di
perdesaan akan berjalan lebih efektif jika menggunakan media yang dimiliki oleh
masyarakat itu sendiri. Media yang memenuhi karakteristik tersebut, tak lain
dan tak bukan, adalah media tradisional. Berbagai macam kesenian tradisional
yang berkembang dan didukung keberadaannya oleh masyarakat, dalam hal ini dapat
dipergunakan sebagai sarana pembantu penyebaran informasi yang cukup efektif.
Pertunjukan rakyat misalnya, dapat dipergunakan untuk mengarahkan perhatian
masyarakat desa terhadap informasi tertentu yang akan disampaikan. Nyanyian,
musik, cerita yang ada di dalamnya merupakan sarana yang sangat efektif untuk
memfasilitasi proses berbagi pandangan dan menggugah perhatian masyarakat
terhadap isu tertentu. Namun untuk mencapai efektivitas komunikasi secara
keseluruhan tetap membutuhkan ‘bantuan’ dari media komunikasi lain secara
integratif.
Tantangan yang dihadapi dalam menghadirkan media tradisional adalah
bagaimana menempatkannya di antara konstelasi proses mediasi masyarakat. Hal
ini penting, karena keberadaan media tradisional tidak dapat dilepaskan dari
masyarakat/komunitas budaya pendukungnya. Tanpa adanya dukungan warga,
keberadaan media tradisional tidak ada artinya.
Ciri dari setiap media tradisional adalah partisipasi warga, melalui
keterlibatan fisik atau psikis. Media tradisional tidak hanya sebagai obyek
hiburan (spectacle) dalam fungsi pragmatis untuk kepentingan sesaat,
tetapi dimaksudkan untuk memelihara keberadaan dan identitas suatu masyarakat.
Budaya tradisional pada hakkatnya berfungsi dalam memelihara solidaritas suatu
masyarakat budaya, karenanya bersifat eksklusif. Setiap masyarakat budaya
memiliki mitos yang khas yang menjadi perekat kelompok/komunitas.
Perlunya mengangkat suatu budaya tradisional sekaligus dengan media yang
mengampunya, adalah untuk fungsi konservasi. Sementara untuk mengusung suatu
media tradisional dalam dalam konteks lintas budaya, secara praktis hanya dapat
dilakukan jika secara substansial budaya dan media dimaksud sudah mengalami
transformasi sebagai spectacle. Dalam formatnya yang asli, media
tradisional hanya relevan secara eksklusif bagi masyarakat budaya pendukungnya.
Begitu pula pemanfaatan media tradisional sebagai wahana bagi isu-isu
kontemporer bagi suatu masyarakat budaya pendukungnya, akan relevan manakala
media tersebut sudah tidak lagi sebagai sumber mitos budaya tertentu.
Pertanyaan yang harus dijawab adalah, dalam konteks penyebaran informasi,
sudahkah kesenian tradisional di Indonesia saat ini benar-benar diposisikan
sebagai “media”, bukan sekadar sebagai spectacle? Pertanyaan ini sangat
penting, karena dalam banyak kasus, sulit menempatkan dua fungsi (hiburan dan
media penyebaran informasi) secara berimbang. Jika kesenian tradisional terlalu
dipaksakan untuk berfungsi sebagai media penyebaran informasi aktual, maka ia
akan kehilangan karakteristik utamanya sebagai sumber mitos bagi masyarakat.
Sebaliknya, jika porsi hiburan terlalu banyak, maka fungsinya sebagai media
penyebaran informasi dengan sendirinya akan menurun.
Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah, sudahkah media tradisional
mentransformasikan diri sebagai spectacle yang bisa dinikmati masyarakat
di luar komunitas pendukungnya? Seperti diketahui, salah satu kendala dari
media tradisional adalah sifatnya yang eksklusif dan lingkupnya yang lokal,
sehingga cenderung hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu dalam jumlah
yang terbatas. Karakteristik eksklusif semacam ini tentu kurang menguntungkan
apabila ditinjau dari teori media, karena salah satu ciri dari media yang baik
adalah kemampuannya menjangkau massa dalam jumlah besar.
Oleh karena itu, tantangan ke depan
adalah bagaimana mentrasformasikan media tradisional agar bisa menjadi general
spectacle, tontonan yang bisa dinikmati dan diterima oleh masyarakat dalam
jumlah lebih besar dan dalam wilayah teritorial yang lebih luas. Inovasi dalam
hal ini bisa dilakukan, sepanjang tidak mendekonstruksi wujud dan karakter asli
dari kesenian tradisional dimaksud.
Sumber : http://blogs.depkominfo.go.id/
Komentar
Posting Komentar