PERBEDAAN MADZHAB STATUS HALAL-HARAM HEWAN



    I.      PENDAHULUAN

Semua binatang yang diciptakan Allah di dunia ini, pada dasarnya halal untuk dimakan, sehingga terdapat suatu dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah yang menunjukkan pengharaman hewan tersebut. Perubahan hukum status hewan yang mulanya halal( boleh) menjadi haram disebabkan adanya dalil pengharaman dan ketentuan syari’at yang universal seperti, “ setiap hewan yang membawa bahaya( madharrah) bagi diri seorang Muslim maka hukumnya haram dimakan.” 
Dalam permasalahan status hukum halal-haram hewan, di antara para Ulama dan fuqaha terjadi perbedaan pendapat. Seperti dalam ihwal status hewan yang diperintahkan Nabi Muhammad untuk membunuhnya yang terdapat dalam hadits beliau. Sebagian Ulama mengambil kesimpulan dan melahirkan sebuah kaidah umum, yaitu “ setiap binatang yang diperintahkan Nabi untuk dibunuh, maka haram dimakan dan dikonsumsi.” Sebagian Ulama menyelisihi dan tidak setuju dengan kesimpulan ini dengan memberikan argumentasi yang jelas.
Sebab lain terjadi perbedaan dikalangan para Ulama tentang halal-haramnya hewan adalah pengharaman Allah ihwal al-at’imah di dalam Al-Quran hanya 4 jenis saja yaitu bangkai, darah, babi, dan hewan yang disembelih bukan atas nama Allah. Sebagian Ulama membatasi makanan yang diharamkan pada empat jenis saja, selain itu tidaklah haram. Sedangkan yang dilarang As-Sunnah, mereka hukumi makruh. Antara lain yang terkenal mengusung pendapat ini adalah Imam Malik.
Sebagian Ulama yang lain berpendapat bahwa ayat  pengharaman tersebut menjelaskan sesuatu yang diharamkan pada saat ayat tersebut diturunkan. Setelah itu, melalui Al-Quran dan lisan Rasul-NYA, Allah mengharamkan sesuatu yang lain, yang tidak disebutkan dalam ayat tersebut, seperti binatang buas, keledai jinak dan sebagainya.
Di dalam makalah ini akan dipaparkan secara jelas tentang perbadaan status hukum halal-haram hewan, dalil dan argumen setiap pendapat, dan mendudukkan perbedaan tersebut berdasarkan dengan kaidah umum syari’at Islam.
              
II.      PEMBAHASAN
Ø  KLASIFKASI HEWAN DALAM BAB AT’IMAH DAN HUKUMNYA
Sebagian Ulama mengklasifikasikan hewan dalam pembahasan At’imah menjadi 3 :
-                               Hewan yang haram dimakan, ketika bangkai maupun disembelih
-                               ( al-muharram)
-                                Hewan yang halal dimakan ketika disembelih, dan haram ketika bangkai (al-mubah)
-                               Hewan yang halal dimakan ketika disembelih, dan halal pula ketika bangkai.
Ada yang membagi menjadi 3:
-                               Hewan yang disepakati halal untuk dimakan
-                            Hewan yang disepakati haram untuk dimakan
-                            Hewan yang diperselisihkan status halal-haram  untuk dimakan.

                             i.                                                   Hewan yang disepakati halal untuk dimakan (مااجمعوا على إباحته)
-          Binatang ternak
 Seperti: onta, sapi, kambing, domba dan lain sebagainya. Allah berfirman dalm surat (Al-Maidah :1), (An-Nahl :5), dan(Ghafir: 79).
Allah berfirman, “ wahai orang-orang yang beriman penuhilah janji-janji, heman ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu...
(Al-Maidah : 1)
-          Beberapa macam burung selain yang memiliki cakar  untuk memangsa lawan.
-          Belalang
 Ibnu Qudamah berkata, “ diperbolehkan memakan belalang menurut ijma’ ahli ilmu. Ibnu Abi Aufa berkata, “ kita berjihad bersama Rasulullah Shallauhu Alaihi wa Sallam sebanyak 7 kali dan kami makan belalang.”
Pertanyaan : Apakah bangkainya boleh dimakan ?
1.      Hanafiyyah, Syafiiyyah, Hanabilah, Dhahiriyyah berpendapat boleh dimakan walaupun matinya tanpa sebab. Jadi belalang boleh dimakan baik yang masih hidup atau yang sudah mati, baik mati sendiri atau disembelih. Berdasarkan sabda Nabi Muhammad, “ dihalalkan bagi kami dua bangkai, ikan dan belalang.”
2.      Imam Malik berpendapat tidak boleh dimakan, karena ia seperti hewan darat lainnya yang tidak boleh dimakan kecuali ada sebab.
-          Ikan
 Adanya ijma’ Ulama yang menghalalkan ikan. Ibnu Jaziy berkata, “ikan halal dimakan menurut ijma’.” Berdasarkan ayat:  96 surat al-Maidah. Allah berfirman, “ Dihalalkan bagimu hewan buruan laut, dan makanan yang berasal dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu….. ( Al-Maidah : 96)

                           ii.                                                   Hewan yang disepakati haram untuk dimakan (ماأجمعوا على حرمته)
-          Babi
 Ijma Ulama akan keharaman babi dan tidak halal dimakan. Ibnu Rusdi berkata, “sesuatu yang diharamkan secara dzatnya, adakalanya disepakati keharamannya, adakalanya diperselisihan keharamannya. Sedangkan yang disepakati kaum Muslimin tentang keharamannya adalah babi dan darah.”

                         iii.                                                   Hewan yang diperselisihkan halal-haramnya (مااختلف فى حله و حرمته)
BINATANG DARAT
Ø  Bagian pertama : binatang jinak
-          Kuda
Para Ulama berselisih pendapat tentang mengonsumsi daging kuda.
1.      Imam Abu Hanifah dan pengikut Madzhab Maliki berpendapat haram. Argumentasi mereka adalah
·         Qs. An-Nahl : 8, Allah berfirman, “Dia telah menciptakan kuda, bighal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan menjadi perhiasan.”
·         Dari jabir, ia berkata, “ Rasulullah melarang kita mengonsumsi daging keledai, kuda dan, bighol.”
2.      Jumhur Ulama. Seperti Ulama Madzhab Syafi’I, pengikut hambali, Abu Yusuf, Al-Laits bin Saad, Ibnu Mubarak, Ibrahim an-Nukha’i berpendapat boleh dikonsumsi tanpa makruh.
Argumentasi mereka adalah
·         Dari Jabir bin Abdullah ia berkata,“ pada perang khaibar Rasulullah melarang kami mengonsumsi keledai jinak, tetapi mengizinkan daging kuda.”
3.      Imam Abu Hanifah, imam Malik dan pengikutnya, Al-Hakam bin Uyainah, Abu Ubaid dan Al-Auza’I berpndapat makruh tanjih ( tidak disukai karena mengakibatkan kehilangan pahala). Argumentasi mereka adalah
·         Perbedaan hadits yang diriwayatkan tentang persoalan ini. Maka, demi kehati-hatian dimakruhkan. Kuda juga dipakai untuk berjihad, mengonsumsi daging kuda bisa mengurangi jumlah perangkat jihad.
Kajian Dalil
§  Ayat ini Makiyyah. Diturunkan tidak berkenaan dengan apakah kuda halal ataukah haram dimakan. Sebab, izin mengonsumsi daging kuda baru diberikan setelah hijrah. Ayat ini bukan dalil pelarangan makan daging kuda. Sementara beberapa hadits shahih secara tegas menghalalkan.
§  Atsar yang mengharamkan kuda ditolak karena statusnya lemah dan bertentangan hadits shahih.
§  Hadits shahih tidak bisa dibantah denagn analogi (qiyas)
§  Semua jenis kuda itu halal, tidak makruh baik yang berasal dari arab maupun lainnnya.
-          Keledai jinak
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum mengonsumsi dagingnya:
1.      Dalam riwayat yang paling mashur, Imam Malik menghukuminya sangat makruh tanzih. Dalam riwayat lain ia membolehkan.
·         Firman Allah dalam surat al-An’am :145
·         Ibnu Abbas dan Aisyah menilai tidak mengapa mengonsumsi daging keledai jinak. Mereka menjadikan makna tersurat ayat ini segai dalil bahwa selain yang disebutkan ayat tersebut hukumnya halal.
2.      Jumhur Ulama Salaf maupun Khalaf, antra lain Imam Malik dalam sebuah riwayatnya, sama sekali menharamkn daging keledai dan susunya untuk dikonsumsi. Berikut ini argumentasinya :
·         Dari Ali bahwa pada saat penaklukkan Khaibar, Rasulullah melarang menikahi perempuan secara mut’ah dan melarang makan daging keledai jinak.
·         Dari Anas bahwa seseorang datang menemui Nabi dan berkata, “ aku telah memakan daging keledai.” Sampai datang orang yang ketiga dan berkata , “ aku telah memusnahkan keledai.” Kemudia seorang suruhan Nabi berseru, “ Allah dan Rasul-NYA melarang kalian mengonsumsi daging keledai jinak karena itu najis.” Serta merta kutumpahkan periuk, meskipun penuh dengan daging.
Kajian Dalil
§  Ayat ini makiyyah, sedangkan hadit yang mengharamkan jauh setelah itu, maka haditsnya harus dikedepankan daripada yang menunjukkan keumuman halal atau analogi (qiyas).
§  Kesimpulannya, pokok dari larangan adalah haram. Beberapa yang menyatakan haram diriwayatkan dalam hadit-hadits shahih. Ibnu Hazm berkata, “pengharaman ini dinukil dari Rasulullah melalui sembilan sahabat yang sanad-sanadnya sejelas matahari. Itulah penukilan yang mutawatir.
§  Salah satu hikmahnya adalah bisa mengakibatkan kebodohan, dan alasan pelarangan tersebut, dikarenakan itu termasuk buruk (khabits). Rasulullah pun memerintahkan periuk-periuk ditumpahkan, lalu dicuci.
-          Hasil persalinan antara binatang yang boleh dimakan dan yang tidak boleh dimakan
1.      Menurut para Ulama madzhab Hanafi, yang menentukan halal-haram hewan tersebut  adalah induk betinanya. karena itu bighol yang induk betinanya adalah keledai jinak diharamkan.
2.      Ulama madzahab Maliki hukumnya mengikutu induk betina. Namun, mempersyaratkan si anak tidak menyerupai binatang yang diharamkan. Imam Malik mempunyai dua pendapat tentang bighol. Yang pertama: haram berdasarkan hadits yang secara husus berbicara tentang bighol. Yang kedua, makruh, tanpa membedakan induk betinanya.
3.      Ulama Madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa si anak mengikuti status hukum yang paling rendah di antara kedua induknya. Demi kehati-hatian ia dihukumi haram. Berdasarkan kaidah fikih, "إذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام "

Ø  Bagian Kedua : Binatang Liar
-          Binatang buas yang bertaring
Para Ulama berselisih pendapat tentang binatang buas bertaring yang haram dimakan.
1.      Menurut para Ulama Madzhab Hanafi dan Maliki, setiap binatang yang memiliki taring untuk memangsa tergolong buas baik yang jinak seperti anjing dan kucing maupun liar seperti hyene, rubah, anjing liar, kucing liar, bajing, fennec, bereng-bereng, musang, jerboa, dan sebagainya. Menyerang atau tidak dan semua yang bertaring tanpa terkecuali. Ibnu Hakam menceritakan perkataan Imam Malik, “ semua binatang yang memangsa dan memakan daging( carnivora), tidak makan rumput, tergolong binatang buas yang tidak boleh dimakan.”
2.      Imam Syafi’I Al-Laits, dan Ulama madzhab Maliki yang dimaksud binatang buas adalah yang menjadi kuat dengan taringnya, dan memiliki tabiat menyerang manusia atau binatang berburu dan memangsa. Sedangkan yang tidak menyerang seperti rubah dan hyena, tidak termasuk di dalamnya.
Tampaknya area perselisihan mereka menyangkut binatang-binatang berikut ini :
1.      Hyena
a.       Ulama Madzhab Hanafi dan Maliki berpendapat haram. Mereka berargumen dengan hadits yang mengharamkan setiap binatang buas bertaring. Di samping itu hyena memakan bangkai.
b.      Ulama madzhab Syafi’I, Hambali, dan Zhahiri, Imam Malik berpendapat mubah. Bersandar pada hadits dari Abdurrahman bin Abu Ammar dan dari riwayat Abu Dawud diriwayatkan dari jabir, ia bercerita, “aku bertanya kepada Rasulullah tentang hyena. Beliau menjawab, “ itu binatang buruan. Jika diburu orang yang sedang ihram, wajib ditebus dengan membayar seokar domba.”

2.      Rubah
a.       Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad dan Ibnu Hazm berpendapat haram.mereka menjadikan hujjah keumuman diharamkan setiap binatang buas yang bertaring.
b.      Ulama madzhab Syafi’I, Abu Yusuf, al-Laits bin Saad berpendapat mubah dimakan. Berdasarkan bangsa Arab menganggap baik dan rubah termasuk binatang buruan. Jika diburu ketika ihram dan di tanah suci, menyebabkan wajib fidyah.
3.      Musang
a.       Ulama madzhab Syafi’I menghukuminya halal. Sebab taringnya bukan untuk memperkuat dirinya.
b.      Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad menghukuminya haram. Sebab termasuk hewan buas yang masuk dalam keumuman yang dilarang.
-          Kera
1.      Imam Malik menghukumi tidak haram. Pendapat yang mashur darinya adalah makruh. Berdasarkan ijtihad mereka tentang batasan yang haram dalam Al-Quran, sementara larangan dalam As-Sunnah mereka maknai makruh.
2.      Madzhab Hanafi, Syafi’I, Hambali, Zhahiri menghukumi haram. Dikarenakan termasuk binatag buas  yang bertaring. Dari As-Sya’bi berkata, “ Rasulullah melarang kita makan daging kera.”
-          Gajah
1.      Imam Malik, Ibnu Hazm menghukuminya boleh, asalkan disembelih. Karena tidak ada nash yang menyatakan haram.
2.      Ulama madzhab Hanafi, Syafi’I , Hambali berpendapat haram dimakan. Karena ia bertaring. Ia tergolong binatang yang dinilai buruk (khabits). Imam Ahmad berkata, “ ia bukanlah makanan umat Islam karena termasuk binatang buas yang bertaring.
-          Jerapah
1.      Jumhur  ulama berpendapat hukum dasarnya boleh karena tidak ada nash yang mengharamkannya. Imam Ahmad ditanya tentang jerapah, beliau menjawab, “boleh dimakan, ia binatang seperti onta.
-          Kelinci

Ø  Bagian ketiga : Binatang kecil
Definisi dan ragamnya :
1.      Berjalan, merayap, terbang
2.      Berbisa dan memiliki sengat atau tidak
3.      Memilik darah mengalir dalam dirinya atau tidak  seperti cicak, kalajengking, keong darat, kadal, kutu, laba-laba, nyamuk, jangkrik dan sebagainya.
Ulama berselisih pendapat :
1.      Imam Malik, Al-Auza’I menghukumi halal. Argumentasi mereka adalah firman Allah ayat 145 surat al-An’am, pernyataan Aisyah tentang tikus dan Ibnu Abbas, dan keumuman ayat dan hadits yang membolehkan, sementara tidak ada dalil yang mengharamkan.
2.      Jumhur Ulama, Ashhab, Ulama Madinah, Dawud berpendapat haram, kecuali yang dinyatakan halal oleh teks. Berdasarkan ayat 157 surat al-A’raf.
-          Ular dan Tikus
1.      Ulama madzhab Maliki menilai mubah setiap ular asalkan disembelih untuk dimakan, begitu juga dengan tikus. Imam Malik berkata, “tidaklah mengapa makan ular asal disembelih pada tenggorokannya.” Bersandar pada kaidah mereka tentang batasan hal-hal yang diharamkan dalam al-Quran, yang tidak menyebutkan ular dan tikus.
2.      Jumhur Ulama berpendapat sedikitpun dari bagian tubuh ular tidak dihalalkan, dan menilai haram binatang tikus. Bersandar hadits Rasulullah, Rasulullah bersabda, “ ada lima jenis binatang yang jelek dan merusak, boleh dibunuh baik ditanah suci ataupun di luar tanah suci, yaitu: Ular, gagak, tikus …dll.
-          Cicak  ( Tokek dan Bunglon)
1.       Jumhur Ulama menilai haram. Argumentasi mereka adalah hadits dari sa’ad bin Abi Waqqash bahwa Rasulullah memerintahkan agar cicak dibunuh, dan beliau menyebutnya fuwaisiq. Kadal, menurut mayoritas Ulama, status hukumnya sama seperti cicak. Imam Nawawi berkata, “Menurut ahli bahasa Arab, cicak (al-wazagh) masih satu jenis dengan tokek (saam abrash), karena tokek adalah cicak besar.” (Imam Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Juz 7/406).

-          Semut
1.      Jumhur Ulama menyatakan semut tidak boleh dibunuh. Berdasarkan hadits Ibnu Abbas bahwa Rasulullah melarang membunuh empat jenis binatang: semut, lebah…...  Menurut mayoritas Ulama larangan ini menunjukkan bahwa ia tidak boleh dimkan.
-          Serangga terbang
Seperti lebah, lalat kerbau, nyamuk, lalat, kutu,kumbang, laba-laba dan sebagainya diharamkan , karena tergolong khaba’its dan ditolak nurani.
-          Landak
1.      Abu Hanifah, ulama madzhab Hambali, riwayat madzhab Syafi’I menilai haram dikonsumsi.
2.      Imam Malik, Ulama madzhab Syafi’I dalam riwayat yang shahih menilai mubah. Berdasarkan hukum asli pada hewan, karena tidak ada dalil yang mengharamkannya. Imam Syafi’I berkata, “ halal karena bangsa Arab menganggapnya baik (thayyib). Ibnu Umar menfatwakan kebolehannya.
-          Dhabb ( reptile padang pasir serupa dengan biawak tapi bukan biawak)
1.      Menurut  jumhur Ulama hukumnya mubah, bukan makruh. Argumentasi mereka :
·         Dari Khalid bin Walid bahwa ia bersama Rasulullah memasuki rumah Maimunah bibinya. Kemudian dihidangkan daging dhabb panggang. Rasulullah mengulurkan tangannya untuk mengambilnya, tetapi para wanita yang ada di sana berkata, “ Beritahu Rasulullah tentang apa yang hendak Beliau makan!” Dikatakan pada beliau, “ itu daging dhabb, wahai Rasulullah.” Beliau pun menarik kembali tangannnya. khalid bin Walid bertanya, “ apakah itu haram?” Beliau menjawab, “ tidak, hanya saja daging ini tidak ada di daerahku, maka aku merasa jijik.” Khalid berkata, “ Aku lalu memotong dan memakannya, sementara Rasulullah melihatnya.”
·         Dari Ibnu Umar berkata, “ Rasulullah bersama beberapa sahabat, antara lain Sa’ad. Maka , disuguhkan kepada mereka daging dhabb. Salah seorang istri Nabi berseru, “ itu daging dhabb.” Rasulullah bersabda, “  makanlah, itu halal, tetapi bukan termasuk makananku.” 2.      Abu Hanifah, Ulama madzhab Maliki menghukumi makruh.Berdasarkan hadits dari Abdurrahman bin Syibl bahwa Rasulullah melarang kita untuk memakan dhabb. Dan dari Jarir bin Abdillah ia berkata, “ ketika dibawakan dhabb kepada Rasulullah, Beliau enggan memakannya.  Beliau bersabda, “aku tidak tahu,  jangan-jangan ia berasal dari generasi-generasi yang dikutuk.
Kesimpulannya : Bahwa larangan itu lebih didasari karena kekhawatiran pada kutukan atau sikap Rasulullah yang tidak menyukai dan merasa jijik. Tidak ada kaitannya tentang anggapan jijik Rasulullah dengan haramnya daging dhabb. Karena hadits yang menunjukan halalnya dhabb lebih tegas dan shahih. Beliau tidak memakannya dan tidak mengharamkannya. Ini menunjukkan bahwa daging dhabb boleh dikonsumsi, tetapi makruh tanzih bagi orang yang merasa jijik terhadapnya. Jadi bukan makruh mutlak.

Ø  Bagian keempat : Burung
-          Burung pemakan bangkai (ar-rakhamah, al-bughats, elang, dan lain sebagainya)
Burung pemakan bangkai haram dimakan. Argumentas mereka :  ar-rakhmah memakan bangkai dan kotoran (khabits). Oleh karena itu orang yang ihram tidak wajib membayar fidyah jika membunuhnya. Sedangkan elang diharamkan karena dua sebab, yaitu memiliki cakar  dan makan bangkai.
-          Gagak
Jumhur Ulama mengharamkannya. Berdasarkan hadits Aisyah, Rasulullah bersabda, “ ada lima jenis binatang yang tergolong fisq  semuanya boleh dibunuh di tanah suci yaitu burung gagak…”
-          Kelelawar
1.      Ulama madzhab Syafi’I, Hambali,Imam Malik menilai haram. Disebabkan ia memiliki taring.
2.      Ulama madzhab Maliki, Ulama madzhab Hanafi menilai mubah dimakan. Argument mereka, tidak ada nash yang secara tersurat menyebut haram.
-          Burung Merak
1.      Ulama madzhb Syafi’I menilai haram dimakan. Sebab ia memakan sesuatu yang buruk.
2.      Ulama madzhab Hanafi, Maliki, Hambali menilai halal dimakan. Sebab tergolong baik (thayyib), tidak ada nash yang mengharamkannya.
-          Burung Hantu
1.      Ulama madzhab Syafi’I menilai haram, sebab termasuk dianggap khabits.
2.      Ulama madzhab Hanafi menilai halal.
-          Burung Pipit, Merpati dan sejenisnya, berdasarkan kesepakatan Ulama boleh dimakan.

BINATANG AIR
            Binatang air adalah binatang yang tidak mati tenggelam di air. Ada dua macam :
1.      Yang hanya hidup di air. Terbagi dua yaitu yang berbentuk seperti ikan dan yang tidak seperti ikan.
2.      Yang hidup di air dan darat ( amphibi ), seperti kura-kura, kepiting dan sebagainya.

Ø  Bagian pertama : Yang hidup di air dan berbentuk seperti ikan
Ulama sepakat menilai mubah binatang air yang berbentuk seperti ikan. Semua halal tanpa harus disembelih. Dasar kesepakatan umum  (ijma’) mereka adalah firman Allah ayat 96 surat Al-Maidah dan hadits Ibnu Umar tentang dua bangkai yang halal.

Ø  Bagian kedua : Yang hidup di air dan tidak berbentuk ikan
Menurut mayoritas Ulama madzhab Maliki, Syafi’I, Hambali, Al-Laits bin Sa’ad berpendapat bahwa semua binatang laut boleh dikonsmsi. Semua yang hanya hidup di air , jika sudah mati tetap halal dikonsumsi. Imam Syafi’I berkata , “ tikus laut (sea mouse) dan babi laut (porpoise) boleh dimakan. Berdasarkan keumuman dalil yang menunjukkan kehalalan makanan laut. Dan sebutan “ ikan” disandangkan kepada semua binatang yang hidup di air. Jadi binatang yang cuma hidup di air yang diharamkan hanyalah yang membahayakan kesehatan, seperti ikan yang beracun, begitu pula yang mati mengembang di permukaan air yang jelas diketahui telah rusak.
Di dalam kitab al-Mumti’ Syarh Zaad al-Mustaqni’ (6/300), Syaikh Utsaimin menyebutkan bahwa seluruh binatang laut halal untuk dimakan karena keumuman dalil-dalil yang membolehkan, walaupun binatang laut tersebut bentuknya seperti keledai, anjing, maupun manusia. Adapun katak sebenarnya bukan binatang laut, tapi merupakan binatang yang hidup di dua alam, dan diharamkan karena alasan lain. Adapun buaya laut walaupun termasuk binatang buas, tapi tetap halal, sebagaimana ikan hiu, walaupun buas tapi halal. Begitu juga ular laut, karena hidupnya di laut, maka hukumnya halal, karena ular di darat berbeda dengan ular yang ada di laut.   

Ø  Bagian ketiga : Yang hidup di air dan darat
Seperti buaya, kodok, kepiting, lobster, kura-kura, penyu, ular  dan sebagainya. Amphibi terbagi dua macam, yaitu yang memiliki darah dan yang tidak.
1.      Ulama Malikiyah: Membolehkan secara mutlak, baik itu katak, kura-kura (penyu), dan kepiting.
2.      Ulama Syafi’iyah: Membolehkan secara mutlak kecuali katak, buaya dan ular. Burung air dihalalkan jika disembelih dengan cara yang syar’i.
3.      Ulama Hambali: Hewan  yang hidup di dua alam tidaklah halal kecuali dengan jalan disembelih. Namun untuk kepiting itu dibolehkan karena termasuk hewan yang tidak memiliki darah. Ini juga pendapat Ibnu Hazm.
4.      Ulama Hanafiyah: Hewan yang hidup di dua alam tidak halal sama sekali karena hewan air yang halal hanyalah ikan.
Jadi selain yang disebutkan diatas, binatang yang hidup di dua alam halal hukumnya termasuk anjing laut, penyu, labi-labi, namun harus disembelih karena lebih dominan sebagai binatang darat maka diterapkan atasnya hukum binatang darat, kecuali kepiting tidak perlu disembelih karena termasuk yang tidak ada darahnya.
-          Kodok / katak ( binatang sungai ). Ulama berbeda pendapat :
1.      Imam Malik, Asy-Sya’bi menilanya mubah dikonsumsi. Argumentasi mereka dengan keumuman firman Allah ayat 96 surat Al-Maidah.
2.      Ulama Madzhab Hanafi, Syafi’I, serta Hambali menilainya haram. Argumentasi mereka adalah hadits dari Abdurrahman bin Utsman ia bercerita, “ seorang tabib bertanya kepada Rasulullah tentang kodok yang dijadikan ramuan obat. Maka, Rasulullah melarang membunuhnya. Jadi, jika kodok dihalalkan, tentulah Nabi tidak melarang si tabib untuk membunuhnya, padahal ia menggunakannya sebagai obat.
-          Buaya. Ulama berbeda pendapat yang memperbolehkan karena ia termasuk hewan air yang tidak disebutkan secara tersurat tentang keharamannya. Sedangkan Ulama yang menilai haram dimakan karena ia termasuk binatang yang (khabits),apalagi buaya yang bertaring dan digunakan untu memperkuat diri, memangsa manusia dan binatang.

Ø  STATUS HEWAN YANG BELUM ADA KETENTUAN DALAM NASH SYAR’I
Pada pembahasan ini kami akan memaparkan beberapa binatang yang belum ada ketentuanya dalam nash syar’I yang telah dibahas oleh para Ulama baik khalaf maupun salaf. Untuk beberapa binatang telah dibahas pada pembahasan sebelumnya. Berikut beberapa binatang dan status hukumnya menurut para Ulama, yang kami anggap penting :
  • Tupai
Tupai bahasa Arabnya adalah As-  Sanjab. Untuk menentukan halal-haramnya, maka dibutuhkan dalil dari Al Quran dan As Sunnah. Jika tidak ada satu pun dalil yang mengharamkannya maka kembali ke hukum asal yakni halal. Hal ini sesuai kaidah Al Ashlu fil As-yaa al Ibahah Illa maa warada ‘anisy syaari’ tahrimuhu, hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah, kecuali ada dalil dari pembuat syariat yang mengharamkannya.
Kaidah ini dibuat oleh para Ahli ushul, berdasarkan ayat-ayat berikut, “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak menciptakan langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 29)
Berkata Imam Asy- Syaukani dalam Fathul Qadirnya, “Ibnu Kaisan berkata , “(Menjadikan untuk kalian) yaitu karena kalian. Di dalamnya ada dalil bahwa hukum asal dari segala sesuatu ciptaan adalah mubah sampai tegaknya dalil yang menunjukkan perubahan hukum asal ini. Tidak ada perbedaan antara hewan-hewan atau selainnya, dari apa-apa yang dengannya membawa manfaat, bukan kerusakan.”
Ada kaidah lain, yang diterangkan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab bin Sulaiman At Tamimi Rahimahullah sebagai berikut:
 “Sesungguhnya segala sesuatu yang didiamkan oleh Syari’, maka hal itu dimaafkan, dan tidak boleh bagi seorang pun untuk mengharamkan, atau mewajibkan, atau menyunnahkan, atau memakruhkan.”
Karena itulah hukum memakan Tupai adalah kembali ke hukum asal segala sesuatu yakni halal, selama tidak membahayakan kesehatan. Sebab, memang tak ada dalil baik dari Al- Quran dan As -Sunnah tentang pengharamannya,  atau makruhnya. Tertulis dalam kitab Hasyiah Al Jumal, kitab fiqih bermadzhab Syafi’i:  “Dan dihalalkan pula Tupai, dia adalah hewan sejenis kangguru, yang bisa diambil kulitnya untuk pakaian berbulu .”
Urwah pernah ditanaya tentang binatag ini. Menurutnya tidak mengapa dikonsumsi. Sebagian Ulama Hambali membolehkan karena ini mirip jerboa, dan berkata, “ ketika diragukan antara mubah dan haram,maka mubah dimenangkan. Sebab, mubah adalah dasar hukum segala sesuatu.
·         Ulat
1.      Ulama madzhab Maliki berpendapat,  jika terlahir atau muncul dalam makanan, baik buah, biji-bijian, kurma dan sebagainya, boleh dimakan, sedikit atu banyak, mati atau tidak.
2.      Ulama madzhab Hanafi berpendapat, belatung dan sebagianya boleh dimakan sebelum ditiupkan roh. Sebab, belatung itu bukan bangkai. Namun, setelah ditiupkan roh kepadanya tidak boleh dimakan. Atas dasar itu, tidaklah halal mengonsumsi ulat keju atau ulat buah.
3.      Ulama madzhab Syafi’I dan Hambali berpendapat, haram memakan ulat, kecuali yang terlahir dari makanan. Jadi, boleh mengonsumsi makanan yang mengandung ulat seperti keju, buah-buahan, sayuran, biji-bijian dan sebagainya. Meskipun begitu harus memenuhu dua syarat :
-          Memakannya bersama makanan. Jika ulat dipisah dari makanan, tidak halal.
-          Jika makanan itu benda cair, disyaratkan tidak mengubah rasa, warna, dan aromanya. Jika salah satu berubah tidak boleh mengonsumsinya karena najis menurut madzhab Syafi’I. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa Rasulullah pernah membawa kurma yang sudah lama disimpan. Beliau memeriksanya dan mengeluarkannnya ulat darinya.
 ·         Biawak
Biawak dalam bahasa Arab disebut waral. Binatang ini adalah jenis binatang melata, termasuk golongan kadal besar dan sangat dikenal di negeri ini. Hidupnya di tepi sungai dan berdiam dalam lubang di tanah, bisa berenang di air serta memanjat pohon. Binatang ini tergolong hewan pemangsa dengan gigi taringnya yang memangsa ular, ayam, dan lainnya.
Biawak adalah hewan reptil persis seperti komodo akan tetapi ukurannya lebih kecil, hidup di gua-gua kecil pinggiran sungai, bisa berenang di air dan berjalan di darat seperti halnya buaya, makanannya adalah daging karena hewan ini termasuk dari jenis karnivora, dia memangsa santapannya (hewan-hewan yang dimakannya seperti katak, tikus, ayam atau burung sekalipun) dengan gigi taring,  ciri fisiknya mirip dengan komodo dari mulai bentuk perut, leher, kepala, ekor, sampai gaya berjalannya. Ada biawak yang lebih besar dan lebih buas, disebut komodo. Berbeda dengan dhabb, dikarenakan biawak termasuk dari jenis hewan buas dan bertaring, maka masuk kepada larangan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebagaimana dalam hadits-hadits berikut ini:
Dari Az Zuhri,“Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarang setiap yang bertaring dari hewan buas (untuk dimakan.pent)”.
Dari Abu Hurairah -semoga Allah meridhainya-, dari Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bahwasanya bersabda,“Setiap yang bertaring dari hewan buas, maka memakannya adalah haram.”

Ø  PENJELASAN KAIDAH "إذااجتمع الحلال والحرام غلب الحرام "
Dalam pembahasan di atas, kita dibawa ke samudra perselisihan para Ulama tentang halal-haram suatu hewan baik yang sudah ada penjelasannya dalam nash maupun yang belum dijelaskan oleh nash. Di akhir pembahasan dalam makalah ini kita di turunkan di pulau kaidah umum Syari’at yaitu “ jika dalam satu permasalahan terkumpul dua hukum halal dan haram, maka dimenangkan yang haram.” Maka yang kita rajihkan adalah haram hukumnya pada permasalahan tersebut, untuk ihtiyat. Memenangkan status haram pada hukum suatu binatang termasuk daful mafsadah, sedangkan menolak kerusakan atau madharrah lebih didahulukan dari pada mengambil maslahat. Untuk permasalahan status hewan yang diharamkan Ulama, karena hewan tersebut mempunyai sifat jijik, buruk, membahayakan tubuh, buas dan sebagainya. Kendati demikian jika para Ulama sepakat akan kehalalan suatu hewan berdasarkan kaidah umum syari’at maka kita ambil pendapat tersebut, walaupun ada sebaian yang menilai haram.
PENUTUP
-         Sebagai kesimpulan akhir, bahwa semua binatang di dunia ini status hukum asalnya adalah halal. Mayoritas Ulama berpendapat bahwa yang disebutka keharamannya oleh Al-Quran dan As-Sunnah itu haram dan semua yang disebutkan kehalalannya oleh syari’at itu halal. Sedangkan yang tidak dinyatakan halal atu haram dalam syari’at tergolong kelonngaran menurut dasar kehalalan.
-         Sedangkan untuk menentuka status hukum halal-haram suatu hewan yang belum ada ketentuannya dalam syari’at, para Ulama telah melahirkan kaidah-kaidah yang dihasikan dari istinbat terhadap kaidah umum syari’at dan kulliyat syari’ah .
-         Sebagian binatang ada yang disepakati Ulama akan kehalalannya, sebagian yang lain disepakati akan keharamannya. Sebagian besar masih diperselisihkan para Ulama, disebabkan tidak ada nash secara tegas yang menunjukkan status halal dan haramnya. Sehingga mereka menghukuminya sesuai hasil ijtihad yang berdasarkan kaidah istinbath mereka masing-masing.
-         Sikap kita terhadap beberapa pendapat Ulama tentang halal-haram hewan adalah:
1.       Merajihkan dalil yang digunakan sandaran mereka.
2.      Tidak semerta-merta menerimanya, karena sebagian Ulama ada yang menghalalkan ular seperti madzhab Maliki, ternyata setelah dikaji melalui tinjauan kesehatan bahwa ular itu mengandung racun dan berbahaya bagi tubuh. Maka , kita kembalikan pada kaidah umum syari’at yaitu sesuatu yang membahayakan tubuh dan akal, bersifat buas, najis dan menjijikkan maka diharamkan untuk mengkonsumsinya.
3.      Diperlukan tahqiq al-manath dalam menentukan halal-haram suatu binatang. Dengan menanyakan kepada ahli hewan dan dokter kesehatan, dengan itu kita bisa menentukan statusnya. Apakah hewan tersebut mempunyai sifat-sifat diharamkan hewan dalam Islam atau tidak memilikinya, sehingga kita hukumi halal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ceramah Tentang Akhlak Dalam Islam

MAKALAH TEORI KOMUNIKASI MENURUT BUKU LITTLE JHON